Sabtu, 26 Januari 2013

Konflik sosial dalam Jeratan Kapitalisme




Konflik sosial di Tanah Air menjadi satu deretan konflik diantara banyaknya konflik lain. Berbagai kasus  yang sepertinya sepela menjadi amukan masyarakat dan berakhir dengan permusuhan bahkan yang lebih tragis lagi pembunuhanpun terjadi dengan dalih dendam. Masyarakat Indonesia yang dulu dikenal dengan keramahtamahan dan kesopanannya, kini telah terkikis oleh kebengisan dan rasa egois yang tinggi.
Apa sebenarnya yang menjadi konflik masalah? Beberapa penyebab konflik, menurut Mendagri, seperti sengketa Pilkada, sengketa kewenangan, sengketa lahan, konflik SARA, konflik Ormas, konflik pada institusi pendidikan dan kesenjangan sosial.
Berdasarkan data yang dimiliki Kemdagri, jumlah konflik sosial tahun 2010 sebanyak 93 kasus. Kemudian menurun tahun 2011 menjadi 77 kasus. Namun,  tahun 2012 meningkat menjadi 89 kasus hingga akhir Agustus.
Akhir tahun 2012  ditutup dengan konflik tawuran mahasiswa yang berentetan ke tawuran pelajar bahkan anak SD pun sudah bisa meniru. Ini terjadi karena motif masalah yang sebenarnya bisa diselesaikan dengan cara yang baik-baik misalnya, karena faktor tersinggung, dendam yang sudah lama kemudian ada yang memotori akhirnya mengulang dendam masa lalu, karena iri dengan sekolah masing-masing dan akhirnya batu hantam pun tak bisa dicegah.
Begitupun dengan konflik Poso yang terjadi sejak tahun 2000 hingga kini masih terjadi. Masalah ini berawal dari pilkada Poso tahun 2000, unsur SARA, dan terjadilah bentrokan yang mengkristal menjadi Islam versus kristen.  kata Amris Hasan kepada detikcom, di Gedung DPR/MPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (25/1/2006). Menurutnya kejadian demi kejadian di Poso ini dikarenakan cara penanganan tidak menyentuh akar persoalan, sehingga setiap satu kasus di atasi selalu muncul kasus lain. Yang ditangani bukan akarnya, bukan dalangnya, tapi hanya orang di lapangan yang ditangkap. Ini terjadi karena pemerintah belum menemukan apa yg menjadi akar masalah. Malah pemerintah mengirimkan densus 88 ke Poso yang terus menyudutkan islam bahkan tak sedikit  sasaran salah tangkap. Bahkan orang  tak tau apa-apa yang sedang sholat dan dalam majelis taklim langsung diadili, dipukul, ada yang disetrum, bahkan ada yang dihajar hingga pingsan dan tak sedikit nyawa yang tak berdosa melayang oleh ulah densus 88 yang dibentuk dengan dalih memberantas terorisme yakni global war on terrorism (GWOT). Padahal jelas program ini dibentuk Amerika dengan tujuan menghadang kebangkitan islam yang semakin ditakuti oleh barat.
Sayangnya penegakan hukum sampai sekarang belum tuntas sehingga menyisakan dendam kesumat dari semua pihak yang setiap saat bisa meledak. Jadi, biang keladinya ya pilkada demokrasi itulah yang memecah belah bangsa ini.
Apa yang menjadi persoalan? 
Yang menjadi pangkal persoalan konflik sosial ini adalah karena kita masih berada dibawah ketiak kapilatisme. Selama ideologi kapitalisme dengan sistem pemerintahan demokrasinya masih diterapkan selama itu pula masalah tidak kunjung usai, baik konflik di Indonesia maupun konflik di belahan dunia islam. Ibarat berada pada lingkaran setan yang tidak akan menemukan titik masalahnya jika akar masalah belum dicabut. Yang menjadi akar masalah sekarang terletak pada kesalahan sistem. Oleh karena itu bila kaum muslim ingin sungguh-sungguh keluar dari jeratan persoalan ini maka harus memilih sistem yang baik dan amanah. Sistem yang baik tak mungkin berasal dari manusia yang lemah, serba kekurangan,dan terbatas. Sistem yang baik tentunya dari yang Maha Terbaik  yaitu Syariah islam yang mempunyai aturan yang paripurna,  segala persoalan kehidupan ada didalamnya. Sehingga bisa dikatan  islam sebagai  rahmatanlilalamiin, rahmat bagi seluruh alam dan problem solving tiap permasalahan yang menjerat. Ketika islam kembali ditegakkan di muka bumi ini umat islam baru bisa dikatakan khoiru ummah.
“kamu adalah umat yang Terbaik yang dilahirkan untuk manusai, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah kepada yang mungkar dan beriman kepada Allah” (QS. Ali Imran :110)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar