khoirunnisa-syahidah.blogspot.com - Hari ini kaum muslimin di seluruh
dunia menggemakan pujian atas kebesaran Allah Swt. Langit pun
bergemuruh dengan suara takbir, tahlil dan tahmid. Sementara itu lebih
dari 2 juta saudara kita kaum muslimin lainnya saat ini berada di tanah
suci tengah menunaikan ibadah haji.
Secara fitri, manusia dikaruniai Allah Swt gharizah an-nau’.
Diantara perwujudannya berupa kecintaan pada ibu, bapak, anak dan
istri. Dengan naluri itu, secara fitri manusia akan terdorong untuk
mencari pasangan dan melahirkan keturunan. Begitu pula Nabiyullah
Ibrahim as. Beliau juga menginginkan kehadiran seorang anak. Meski
usianya kian senja, Nabi Ibrahim as terus berdoa memohon diberikan anak
yang shalih. ‘Ya Rabb, anugrahkanlah kepadaku [seorang anak] yang
termasuk orang shaleh’. Maka Kami beri kabar dia kabar gembira dengan
seorang anak yang amat sabar. (TQS ash-Shaffat [37]: 100-101)
Bagi Ibrahim as, Ismail adalah buah hati, harapan dan kecintaannya,
yang telah sangat lama didambakan. Ismail mendatangkan kebahagiaan dalam
hidup Ibrahim. Ismail pun merasakan penuhnya kasih sayang dan cinta
ayahnya. Akan tetapi, di tengah rasa bahagia itu, turunlah perintah
Allah kepada Ibrahim untuk menyembelih putera kesayangannya itu.
“Maka tatkala anak itu telah sampai (pada umur sanggup) berusaha
bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: hai anakku, sesungguhnya Aku
melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa
pendapatmu” (TQS ash-Shaffat [37]: 102)
Ibrahim menghadapi dua pilihan: mengikuti perasaan hatinya dengan
”menyelamatkan” Ismail atau menaati perintah Allah dengan ”mengorbankan”
putra kesayangannya. Mengedepankan kecintaan yang tinggi (al-mahabbatul ulya), yakni kecintaan kepada Allah atau lebih mengutamakan kecintaan yang rendah (al-mahabbatul adna),
yakni kecintaan kepada anak, harta, dan dunia. Tetap menyadari anak
yang dicintainya itu sebagai karunia Allah atau malah menjadikannya
sebagai andâdan, pesaing–pesaing Allah yang dicintai sama atau bahkan melebihi kecintaan kepada Allah.
Sekarang, bayangkan ada sesuatu yang kita cintai, yang deminya kita rela mengorbankan apa saja. Itulah “Ismail”-mu. “Ismail”-mu
adalah setiap sesuatu yang dapat melemahkan imanmu dan dapat
menghalangi dirimu menuju taat kepada Allah. Setiap sesuatu yang dapat
membuat dirimu tidak mendengarkan perintah Allah dan menyatakan
kebenaran. “Ismail”-mu adalah setiap sesuatu menghalangimu
untuk melaksanakan kewajiban-kewajibanmu. Setiap sesuatu yang
menyebabkan engkau mengajukan alasan-alasan untuk menghindar dari
perintah Allah SWT.
Di dalam hidup ini kita harus mengidentifikasi dan menemukan apa atau siapakah “Ismail” kita itu. Mungkin sekali “Ismail”-mu
adalah seorang manusia; bisa anak, istri, suami, orang tua atau siapa
saja. Bisa pula harta benda, pangkat, jabatan atau kedudukan. Bisa juga “Ismail”-mu
berupa ideologi dan pandangan hidup sekuler, seperti kapitalisme dan
sosialisme atau komunisme, dan ideologi lain yang tidak bersumber dari
nilai-nilai tauhid.
“Ismail”-nya Ibrahim as adalah Ismail as, anaknya sendiri,
buah hatinya. Dan saat Ibrahim dihadapkan pilihan sulit itu, setan
dengan cepat memanfaatkan kesempatan. Dalam rupa seorang lelaki tua
–seperti riwayat Ibn Katsir dalam Tafsirnya dari Abu Hurairah ra- setan
berusaha menggoda Nabi Ibrahim, Siti Hajar, dan Ismail agar mengabaikan
perintah Allah itu. Ibrahim yang tahu bahwa lelaki tua itu adalah setan,
segera mengusirnya.
Ketegasan Ibrahim mengusir setan yang terus menggoda itulah spirit
yang semestinya diresapi oleh para jamaah haji saat melempar jumrah di
Mina yang melambangkan kebencian dan perlawanan terhadap pengaruh setan.
Di Mina jutaan jamaah haji telah menegaskan pendirian: menolak dominasi
setan.
Sayangnya perlawanan terhadap setan itu seolah hanya terjadi di Mina
saja. Buktinya adalah fakta di Indonesia, negara yang paling banyak
jumlah jamaah hajinya, hingga kini tetap tegak ideologi dan sistem
sekuler kapitalisme, paling banyak korupsi dan bentuk kejahatan lain,
yang itu sebagiannya dilakukan oleh mereka yang sudah pernah berhaji.
Sepulang dari haji bukan hanya tidak meneruskan perlawanan terhadap
setan, tapi telah menjadi kawan atau malah hamba setan.
Perintah amat berat itu pun disambut Ismail as dengan penuh
kesabaran. Dia pun mengukuhkan keteguhan jiwa ayahandanya dengan
mengatakan:
“Wahai ayahanda, lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu,
Insya’a Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar” (TQS ash-Shaffat [37]: 102)
Dan tepat ketika pisau tajam itu menyentuh kulit leher Ismail, Allah dengan kekuasaan-Nya menggantinya dengan seekor domba.
”Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan
anaknya atas pelipisnya, (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggil
dia, hai Ibrahim sesungguhnya engkau telah membenarkan mimpi itu,
sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang
berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan
Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar” (TQS ash- Shaffat [37]: 103 – 107)
Inilah teladan yang diberikan oleh Ibrahim yang membawa semangat
tauhid. Inilah teladan seorang anak manusia yang menyadari posisinya
sebagai makhluq di hadapan Sang Khaliq, sebagai hamba dihadapan al-Ma’bûd, Allah SWT. Inilah teladan dari manusia yang dengan semangat tauhid berhasil merealisasi kecintaan yang tinggi (al-mahabbatul ulya) yaitu kecintaan kepada Allah, dan saat yang sama menghindarkan diri dari kecintaan yang rendah (al-mahabbatul adna)
terhadap setiap sesuatu yang bisa menghalanginya untuk taat kepada
Allah SWT. Teladan seorang manusia yang berhasil membuktikan keteguhan
dalam menjalankan perintah Allah dan ketegasan menepis segala bujuk rayu
setan yang terkutuk.
Semangat tauhid yang telah ditunjukkan kepada kita oleh Nabiyullah
Ibrahim as itu, sangatlah relevan dan amat kita perlukan dalam menjalani
kehidupan yang penuh tantangan saat ini. Kehidupan modern yang serba
bendawi, amat mudah membawa kita terjerumus kepada pragmatisme sekuler
yang menjadikan kenikmatan jasmani dan semua yang serba material menjadi
fokus dari capaian hidup tanpa lagi mengindahkan tolok ukur halal dan
haram.
Semangat tauhid itu sangat kita perlukan agar kita berhasil
mewujudkan kecintaan hakiki yang tinggi yakni kecintaan kepada Allah dan
Rasul-Nya yang mewujud dalam sikap tunduk, patuh dan terikat kepada
ketentuan syariah-Nya. Ketundukan, kepatuhan dan keterikatan kita kepada
syariah Allah itu dipastikan akan membawa berkah bagi semua, berbuah
cinta Allah kepada kita dan ampunan dari-Nya atas dosa kita. Allah
berfirman:
“Katakanlah, jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah
aku, niscaya Allah mencintai dan mengampuni dosamu. Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang” (TQS Ali-Imran [3]: 31).
Wahai Kaum Muslimin
Dalam rangka menyerap teladan diatas sekaligus sebagai renungan di
hari Idul Adhha ini, ada beberapa hal pokok yang penting untuk
ditegaskan:
Pertama, Kisah hidup Nabi Ibrahim, Nabi Ismail dan seluruh
prosesi Haji beserta perayaan Idul Adha sesungguhnya telah memberikan
kepada kita pelajaran yang sangat berharga tentang cinta, ketaatan dan
pengorbanan serta sikap yang harus diambil oleh seorang muslim dalam
menjalani hidup ini sesuai prinsip-prinsip tauhid, yakni keimanan yang
penuh kepada Allah SWT.
Dengan tauhid itu, marilah kita tetap teguh memegang ketentuan halal
dan haram, dan di saat yang sama tidak mudah terdorong melakukan
pelanggaran terhadap syariah-Nya. Bila prinsip ini dilanggar, mungkin
saja berbagai macam keinginan dalam hidup kita itu bisa diraih, tapi
pasti akan membawa keburukan, dan pasti juga akan menjauhkan kita dari
cinta dan ridha Allah SWT.
Kedua, Ketaatan pada Allah SWT yang diwujudkan dengan
melaksanakan syariah-Nya secara kaffah dalam kehidupan pribadi, dan juga
dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dengan cara itulah akan
terbentuk masyarakat tauhid dan negara yang berbeda dengan masyarakat
dan negara jahiliah. Negara itu adalah Daulah Khilafah Islamiyyah yang
diwajibkan Allah Swt untuk ditegakkan. Dan ingatlah, bahwa hanya dalam
Daulah Khilafah sajalah kerahmatan Islam akan terwujud dan keridhaan
Allah akan didapatkan.
Ketiga, Salah satu buah dari tauhid adalah ukhuwah atau
persaudaraan Islam, yakni persaudaraan universal atas dasar keimanan
kepada Allah SWT, sebagaimana tampak dalam berkumpulnya jamaah haji dari
seluruh dunia di Tanah Suci tanpa membedakan ras, suku bangsa, bahasa
dan pangkat derajat. Semua hadir di sana atas dasar, motif, dan dorongan
yang sama, juga melakukan manasik haji dengan cara yang sama. Tapi
sayang, persaudaraan universal itu berhenti hanya sebatas di Tanah Suci.
Usai haji, kembali umat Islam terpecah belah ke dalam lebih dari 50
negara. Persaudaran itu tidak tampak lagi. Umat Islam yang berjumlah
lebih dari 1,5 miliar itu tetap lemah, tidak memiliki kekuatan sehingga
mudah dirusak oleh musuh-musuh Islam. Di sinilah pentingnya perjuangan
untuk tegaknya kembali al-Khilafah al-Islamiyah harus terus digelorakan,
karena hanya khilafah sajalah yang mampu menyatukan kembali umat Islam
sebagaimana pernah terjadi di masa lalu.
Keempat, Perjuangan bagi tegaknya kembali al-Khilafah
al-Islamiyah yang akan menerapkan syariah secara kaffah dan mewujudkan
kembali persatuan umat jelas memerlukan pengorbanan karena tidak ada
ketaatan tanpa pengorbanan. Dengan pengorbanan itu, insya Allah
perjuangan yang memang sekilas tampak sulit itu akan menemukan hasilnya
tidak lama lagi di masa mendatang.
Semoga kita termasuk orang yang diberikan kekuatan untuk istiqamah
memperjuangkan tegaknya syariah dan khilafah di tengah kehidupan. Wallâh a’lam bi ash-shawâb. []
Komentar:
Hasil Survey Prisma Resource Center dan LP3ES menunjukkan 28,5 persen
responden menilai tak satu pun partai politik peduli terhadap
kepentingan rakyat (Kompas, 22/10).
- Wajar saja, parpol dalam ideologi kapitalisme sekuler memang begitu. Doktrin politiknya hanya fokus pada bagaimana memperoleh dan mempertahankan kekuasaan.
- Apalagi sistem politik demokrasi memang mahal. Jadilah, perhatian utama parpol dan politisi adalah mengembalikan modal tentu berikut keuntungannya.
- Hanya Islam yang memiliki doktrin politik yang fokus pada ri’ayah sebab politik dalam Islam adalah ri’ayah syu’un al-ummah (pemeliharaan urusan-urusan rakyat). Parpol dan politisi peduli rakyat hanya bisa diwujudkan dengan sistem politik Islam dalam bingkai Khilafah Islamiyah. [khoirunnisa-syahidah.blogspot.com]