Suasana
natal dan tahun baru masehi begitu terasa baik di media elektronik maupun media cetak, serta semarak di mall dan
pusat perbelanjaan setiap akhir tahunnya sangat terasa perbedaannya.
Tempat-tempat perbelanjaan, tokoh, tempat makan,toko buku dan tempat umum
lainnya disulap menjadi ajang perayaan natal dan tahun baru, mulai dari lagu-lagu
yang diperdengarkan sampai dengan aksesoris pohon natal, topi santa dan
terompet tahun baru menghiasi tiap sudut tempat. Perayaan natal dan tahun baru
selalu dirayakan berdampingan. Ini menggambarkan walaupun Indonesia yang mayoritas muslim
dipaksa ikut untuk mengikuti perayaan
tersebut.
Tahun baru Masehi merupakan tahun baru yang dirayakan oleh banyak orang, baik yang beragama islam maupun nashrani, hindhu, budha dan semua agama yang ada di dunia juga ikut gegap gempita merayakannya baik itu sebagai acara kumpul keluarga, plesiran atau jalan-jalan wisata dan beberapa acara lainnya. Bahkan tidak sedikit orang menghaburkan uang pada malam tahun dengan hura-hura yang hanya kesenangan satu malam saja.
Ajang perhelatan tahun baru seolah-olah digambarkan sebagai puncak kesenangan diakhir tahunnya dan wajib untuk mengaburkan uang dalam perhelatan itu.
Pesta kembang api yang menjadi puncak pesta tahun baru yang ditunggu-tunggu masyarakat. Mereka rela mengeluarkan tidak sedikit uang hanya sekedar menghidupkan kembang api dan dentuman petasan yang memekakan telinga. Dentuman mercon dan kembang api seolah-olah masyarakat tidak mau ketinggalan dengan momen itu walaupun ketika ditanya kebanyakan mereka akan menjawab ikut-ikutan saja dalam perayaan itu. Pada malam puncak tahu baru itu asap-asap menggumpal di awan dan baunya sangat menyengat.
Sulit
dipungkiri juga bahwa kebanyakan orang-orang merayakan malam tahun baru dengan
minum minuman yang berbau alkohol , berzina,
tertawa dan hura-hura. Bahkan bergadang semalam suntuk menghabiskan waktu
dengan sia-sia demi menunggu pukul 24:00. Hampir disetiap tempat hiburan
terdapat anak-anak manusia yang berkumpul dengan sebuah kesenangan yang semu
dengan joged-joged baik usia muda maupun tua larut dalam suasana serta
bernyanyi dengan kebanyakan lagu maksiat. Jika kita intip hampir tiap sudut
rumah terlihat kilatan kembang api serta pesta bakar jagung yang sudah
mentradisi dikalangan masyarakat.
Budaya
ini sudah sangat mengakar ditengah-tengah masyarakat yang pada hakikatnya
mereka tak mengetahui bagaimana sejarah dibalik penetapan tahun baru masehi.
Dibalik tahun baru masehi ini juga masyarakat secara langsung diajarkan budaya
konsumtif dan hedonis. Mereka rela menghambur-hamburkan uang demi kesenangan
yang fatamorgana. Masyarakat Indonesia yang notabene nya muslim begitu
gempitanya menyambut tahun baru masehi sedangkan tahun baru islam yaitu tahun hijriyah kebanyakan dari mereka tak
mengetahuinya bahkan masa bodoh dengan perayaan itu. Fakta ini menunjukan
budaya membebek (baca:ikutan) yang menjadi persoalan masyarakat dengan larut
dengan budaya agama lain. Padahal islam adalah agama yang khas dengan akidah
dan aturannya.
Sedangkan para
ilmuwan telah menyimpulkan bahwa tahun masehi dianggap tidak presisi sebagai
satuan hitungan, tetapi tetap saja
dipakai. Dari sini membuktikan begitu kuatnya pengaruh kebudayaan kristen
menjajah dunia, apalagi kalau kita perhatikan nama bulan-bulannya yang diambil
dari nama para dewa sebagai kepercayaan Romawi kuno.
Sejak 700 SM bangsa Romawi kuno telah memiliki kalender tradisional. Namun kalender ini sangat kacau dan mengalami beberapa kali perubahan. Sistem kalendar ini dibuat berdasarkan pengamatan terhadap munculnya bulan dan matahari, dan menempatkan bulan Martius (Maret) sebagai awal tahunnya.
Pada tahun 45 SM Kaisar Julius Caesar mengganti kalender tradisional ini dengan Kalender Julian. Urutan bulan menjadi: 1) Januarius, 2) Februarius, 3) Martius, 4) Aprilis, 5) Maius, 6) Iunius, 7) Quintilis, 8) Sextilis, 9) September, 10) October, 11) November, 12) December.
Di tahun 44 SM, Julius Caesar mengubah nama bulan “Quintilis” dengan namanya, yaitu “Julius” (Juli).Sementara pengganti Julius Caesar, yaitu Kaisar Augustus, mengganti nama bulan “Sextilis” dengan nama bulan “Agustus”. Sehingga setelah Junius, masuk Julius, kemudian Agustus. Kalender Julian ini kemudian digunakan secara resmi di seluruh Eropa hingga tahun 1582 M ketika muncul Kalender Gregorian.
Januarius (Januari) dipilih sebagai bulan pertama, karena dua alasan. Pertama, diambil dari nama dewa Romawi “Janus” yaitu dewa bermuka dua ini, satu muka menghadap ke depan dan yang satu lagi menghadap ke belakang. Dewa Janus adalah dewa penjaga gerbang Olympus. Sehingga diartikan sebagai gerbang menuju tahun yang baru.
Kedua, karena 1 Januari jatuh pada puncak musim dingin. Di saat itu biasanya pemilihan konsul diadakan, karena semua aktivitas umumnya libur. Di bulan Februari konsul yang terpilih dapat diberkati dalam upacara menyambut musim semi yang artinya menyambut hal yang baru. Sejak saat itu Tahun Baru orang Romawi tidak lagi dirayakan pada 1 Maret, tapi pada 1 Januari. Tahun Baru 1 Januari pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM.
Orang Romawi merayakan Tahun Baru dengan cara saling memberikan hadiah potongan dahan pohon suci. Belakangan, mereka saling memberikan kacang atau koin lapis emas dengan gambar Dewa Janus. Mereka juga mempersembahkan hadiah kepada kaisar.
Sehingga seorang muslim jangan sampai latah dengan budaya ikutan yang dalam islam tak ada dalilnya. Karena setiap perbuatan kita ada pertanggungjawabkan. Islam punya identitas sendiri yang harus menjadi aturan kita.
Hukum Merayakan Tahun Baru Masehi dalam Pandangan Islam
Perayaan tahun baru ini telah ada sejak zaman romawi kuno yang dikenal dengan hari matahari karena pada awal 1 Januari merupakan awal tahun dari matahari dan Para penyembah api atau penyembah dewa matahari yaitu orang-orang majusi. Pada saat itu mereka merayakan awal tahun baru sebagai hari raya kaum mereka. Setelah datangnya Nabi terakhir utusan dari Agama islam mereka menemui orang-orang yang merayakan tahun baru Masehii dengan segala permainan dan perayaan yang berlebih lebihan.
Pandangan islam bahwa tahun baru masehi merupakan sesuatu yang bid’ah karena tidak terdapat dalam tuntunan ajaran Rasul karena ketika rosulullah menemukan orang orang yang merayakan tahun baru masehi Rosullulh bersabda:
“Sesungguhnya Allah SWT telah menggantikan keduanya bagi kalian yang lebih baik dari kedua hari itu( dua perayaan pada masa jahiliyah) dengan yang lebih baik dari keduanya yaitu hari raya Idul Adha dan Idul Fitri. [Shahih, HR Abu Dawud disahihkan oleh asy syaikh al Albani].
Jadi umat islam juga tidak boleh merayakan hari raya tahun baru tersebut karena 2 hari di masa jahiliyah digantikan dengan hari raya yang lebih baik yaitu dengan merayakan hari raya idul fitri dengan hari raya idul adha.
Dari Ibnu Umar ra. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang menyerupa suatu kaum, maka dia termasuk di antara mereka. (HR Abu Daud).
Dari hadis ini jelas bahwa perayaan tahun baru masehi maupun budaya natal bersama, perayaan imlek , dan perayaan agama lain jangan sampai kita ikutan dalam perayaan mereka. itu semua bukan budaya islam yang seharusnya kita tidak boleh latah ikutan merayakannya. Kita menyerupah suatu kaum (agama lain) saja tak boleh apalagi sampai ikutan dalam perayaan itu. Lantas ada yang berkata bahwa bukankah islam mengajarkan kita toleransi? Toleransi dalam islam berarti membiarkan mereka berurusan dengan perayaan mereka tanpa kita ikut campur atau larut juga dalam pesta agama mereka. Untuk ku agamaku untukmu agamamu, cukup ini yang menjadi dasar toleransi kita.
Saatnya introspeksi diri dalam setiap jejak kehidupan kita. Jangan sampai perbuatan yang kita anggap biasa justru membuat kita terhanyut oleh perbuatan haram yang menyebabkan kita berdosa akan hal itu. Dan seharunya kita mempunyai pemimpin yang taat dan taqwa dalam menjalankan aturan Allah bukan malah taat dengan aturan manusia dengan ikutan latah merayakan perayaan agama lain dan menghabiskan dana negara untuk perayaan tahun baru masehi. Pemimpin yang mampu menjaga aqidah kita, pemimpin yang setia kepada rakyatnya. Pemimpin itu hanya bisa tercipta di atmosfer yang bersih yaitu sistem islam daulah khilafah. Wallahu’alam bi showab.
Opini masuk ke Tribun Sumsel (30/12/13')
Tidak ada komentar:
Posting Komentar