Senin, 23 Januari 2012

Napas Panjang Transformasi Kapitalisme


Saat ini, kapitalisme sedang dirundung duka. Di Amerika dan Eropa, kapitalisme lahir dan menggurita serta dipuja-puja. Bahkan dijadikan roda model peradaban.

Tapi kini, kapitalisme dikritik, dibenci hingga dicampakkan. Bahkan banyak meramalkan jika kapitalisme tak akan berumur panjang. Pilar-pilarnya mulai lapuk.

Prediksi tersebut wajar, mengingat umur faham yang lahir dari gagasan filusuf Adam Smith ini, sudah terbilang sangat tua. Kapitalisme lahir dalam bentuk dokumentasi gagasan Smith melalui buku The Wealth of Nation sebagai antitesa  faham merkantilisme yang dianggap kurang mendukung ekonomi masyarakat.

Dalam perjalanannya, kapitalisme tak lepas dari guncangan. Mulai dari krisis 1923, 1930, 1940, 2008, hingga 2011 yang belum bisa kita raba kapan berakhirnya. Namun dari guncangan-guncangan yang dalam tinjauan sosiologi disebut The Great Disruption tersebut, kapitalisme toh masih bisa eksis. Setidaknya, ia mengantar dunia memasuki abad 21 dengan segala kecanggihannya.

Sebagai buah pikiran manusia, kapitalisme bisa dikatakan panjang umur. Ia adaptif dan kontekstual sehingga setelah layu, kembali berkembang dan dinikmati umat manusia, yang menghujatnya sekalipun.

Nah, dalam konteks krisis yang kembali mendera, ke mana arah kapitalisme selanjutnya? Quo Vadis Capitalism? Apakah ia akan berakhir seperti prediksi Kishore Mahbubani dan Nuoriel Roubini? Ataukah akan menjadi pemenang seperti iman Fukuyama yang diabadikan di dalam bukunya The End of History?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut, mengantui hati dan perasaan pengamat dan pemuja kapitalisme. Seperti juga ia menantang kaum anti kapitalis. Apa tawaran baru mereka jika saja faham yang disokong demokrasi ini, menemui ajalnya?

Adaptasi dan Reformulasi

Saat ini angka pengangguran di AS berkisar pada angka 8,6 persen dari total 312,8 juta penduduknya. Angka pengangguran yang cukup besar ini, rentan melahirkan masalah sosial. Lihatlah misalnya aksi demonstrasi anti kaptalisme yang menyerang pusat bisnis AS di Wall Street dan gangguan lain yang merugikan mesyarakat.

Oleh karenanya, pemerintah sangat memerlukan kontribusi sektor swasta dalam merangsang jalannya roda perekonomian. Oleh Ian Bremmer, Presiden Eurasia Group di dalam bukunya Akhir Pasar Bebas, kebutuhan (kalau tidak mau dikatakan perselingkuhan) pemerintah dengan berbagai perusahaan tersebut, merupakan salah satu alat transformasi kapitalisme modern ke dalam bentuk apa yang ia sebut sebagai kapitalisme negara.

Dalam hal ini, pemerintah menggunakan kekuatan politik dalam menggandeng perusahaan tersebut. Terjadi simbiosis mutualisme.

Nahasnya, upaya menjaga stabilitas ekonomi, seperti langkah afirmatif Presiden Obama terhadap transaksi jual-beli 230 pesawat Boeing  kepada Lion Air ketika berlangsung KTT Asean ke-19 di Bali, justru bertendensi politik. Bukan untuk mensejahterakan rakyat, namun hanya kamuflase untuk melanggengkan kekuasaan.

Pada 2012, AS akan melaksanakan pemilihan umum. Dan Presiden Obama kembali akan maju dalam pertarungan memperebutkan kursi nomor satu di negara adi daya tersebut. Persoalan ekonomi, menjadi isu utama pada pemilu kali ini.

Keterpurukan ekonomi AS tentu akan membuat Obama kerepotan jika tidak ada langkah kongkret mengubah wajah ekonomi AS. Transaksi Boeing dan Lion Air yang diasumsikan bisa menyerap 100. 000 tenaga kerja, merupakan satu contoh kamuflase menyelamatkan perekonomian tapi lebih subtantif pada kepentingan politik yang secara langsung juga menjadi medium transformasi kapitalisme.

Menurut Bremmer, ada empat alat mengelola kapitalisme negara. Alat yang cenderung digunakan oleh pemerintah yang lazimnya berasal dari pemimpin politik, sebagai perpanjangan tangannya.

Yaitu lembaga-lambaga atau perusahaan minyak dan gas nasional, badan usaha milik negara yang lain, badan usaha swasta yang diunggulkan pemerintah dan lembaga dana kekayaan negara seperti Bank Indonesia (BI).

Menggandeng produsen pesawat Boeing adalah fakta jika AS telah secara nyata menganut kapitalisme negara di tengah kelesuan kapitalisme (modern) yang selama ini menyumbang PDB melalui mekanisme perdagangan bebas.

Dengan kata lain, Bremmer ingin mengatakan bahwa transmisi kapitalisme (modern) ke kapitalisme negara adalah alamat bagi matinya persaingan bebas.

Tak heran ketika Air Bus sebagai kompetitor utama Boeing, merasa terganggu dan menengarai jika Obama melakukan intervensi dalam transaksi bersejarah antara Boeing dan Lion Air.

Obama bukanlah pelaku pertama. Di dalam bukunya, Bremmer telah mengurai praktek kapitalisme negara di sejumlah wilayah. Mulai dari kerajaan-kerajaan di Timur Tengah, republik demokratis di Eropa, hingga ke Amerika Latin.

Jika praktik new capitalism ini berkelanjutan, beradaptasi dengan kebutuhan umat manusia dan melakukan reformulasi. Misalnya dengan trend life style kapitalis menjadi filantropis, menyalurkan kekayaan mereka untuk kemanusiaan dan membentuk lembaga sebagai bentuk corporate social responnsibility (CSR), maka kapitalisme akan tetap survive. Tetap dicintai karena dipandang manusiawi.

Dengan demikian, prinsip persaingan praktik pasar bebas benar-benar terancam. Dunia bisnis akan terganggu oleh kepentingan politik. Pun dengan politik. Demokrasi akan terfragmentasi tanpa subtansi. Para politkus akan mencari patron dari pelaku bisnis yang pada akhirnya memengaruhi independensi pengambilan keputusan sebagai pejabat publik.

Ketajaman firasat prediksi Bremmer dengan pendekatan analisis ekonomi politik di tengah kelesuan kapitalisme, patut kita apresiasi. Setidaknya, Bremmer mengingatkan bahwa ada tanda-tanda jika kapitalisme masih akan hidup. Kapitalisme memiliki seribu nyawa dan jutaan cara untuk bertahan. Mungkin.

Oleh: Jusman Dalle, Analis Ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar