Senin, 10 Oktober 2011

Hukum Safar Bagi Muslimah


Tidak sedikit muslimah yang melakukan safar tapi tidak mempedulikan hukum syara’ tentangnya. Bila orang awam tentu bisa dimaklumi, tapi bagaimana bila mujahidah dakwah melakukannya? Saya hanya mencantumkan pendapat Alamah Abu Rusytoh tentang masalah safar bagi muslimah. Semoga bermanfaat dan semoga Allah mengampuni dosa kita, khususnya para muslimah yang bersafar melanggar syariat.

-iwan januar-Safar Bagi Wanita

Hadits Rasul shollallaahu ‘alaihi wa sallam: “Tidak halal seorang wanita yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir melakukan perjalanan selama sehari semalam, kecuali jika disertai mahram-nya.” Dikeluarkan oleh Muslim dari jalan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu..Diharamkan baginya (seorang wanita) untuk melakukan perjalanan sendirian tanpa disertai mahram dalam rentang waktu yang disebutkan, yakni sehari penuh (24 jam), sehari semalam.

Nash tersebut menunjuk pada satuan waktu bukan pada satuan jarak. Maka seandainya ia melakukan safar dengan kapal terbang tanpa mahram sejauh seribu kilometer pulang-pergi tanpa berdiam dalam rentang waktu itu maka diperbolehkan baginya untuk melakukan hal tersebut. Namun seandainya dia bepergian dengan berjalan kaki hanya sejauh dua puluh kilometer tetapi memerlukan waktu melebihi sehari semalam, maka diharamkan baginya jika tidak dibersamai oleh mahram.Nash-nash yang disebutkan dalam masalah sholat qoshr dan kebolehan berbuka puasa berlaku pada jarak perjalanan sejauh empat Barid, atau sekitar 89 Km. Maka jarak dalam masalah qoshr ini berlaku bagi siapa saja yang melakukan perjalanan dengan jarak tersebut, baik dengan menggunakan pesawat terbang, dengan kapal, atau pun dengan berjalan kaki dibolehkan bagi mereka untuk melakukan qoshr, tanpa memandang seberapa lama perjalanan tersebut.

Sementara itu ibrah yang dipahami dalam masalah safar bagi perempuan yang tidak ditemani mahramnya adalah durasi waktu, yakni sehari semalam, tanpa memandang jaraknya. Maka apabila seorang perempuan tidak berdiam dalam rentang waktu tersebut, namun pergi dan kembali lagi sebelumnya (24 jam-pen), maka kepergiannya itu dibolehkan walau tidak bersama mahram. Sementara itu dalam masalah qoshr dan berbuka (sebagai rukhshoh-pent), maka ibrahnya adalah jarak, tanpa mempedulikan waktunya, sebentar atau pun lama.

Adapun masalah keamanan terhadap dirinya, maka itu masalah lain. Apabila keselamatan dirinya tidak disara aman kecuali dengan keberadaan mahram, maka dia tidak boleh bepergian meski pada saat tengah hari. Maka masalah keamanan terhadap dirinya itu merupakan permasalahan lain.

Yang dimaksud dengan mahram adalah laki-laki yang merupakan bagian dari para mahram si wanita. Adapun para perempuan yang terpercaya, maka sebagian ulama berpendapat dengannya, sementara kami mentarjih perjalanannya harus dengan mahram laki-laki untuk sampai pada jarak yang dikehendaki.

Orang yang bepergian untuk daurah dalam jangka tebatas, selama tiga bulan misalnya, maka hukumnya adalah hukum musafir, itu apabila dia tidak menjadikan negeri tempat daurah itu sebagai tempat mukim baginya. Karena ia hanyalah sebatas untuk pelaksanaan daurah kemudian setelah itu ia kembali ke negeri asalnya. Maka hukum yang berlaku dalam keadan demikian adalah hukum musafir. Adapun apa bila dia menjadikan negeri itu, yakni tempat daurah, sebagai tempat ia bermukim, maka dalam hal ini ia (harus) memutuskan masa safarnya kemudian mengambil hukum mukim.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar